Posted by: alvianiqbal | September 1, 2009

Ciputat, Kamis, 4 Juni 2009 pukul 01:25-04:00

Mendudukkan Hadis Perpecahan Umat

Berangkat dari tema “Aliran Teologi dan Pengaruhnya pada Umat” Islam Digest (Republika, 17/5/2009) lahir tulisan ini. Titik sasarnya (baca: kritik konstruktif) atas sebuah uraian terkait hadis yang dimuat dalam tema di atas. Namun, kiranya perlu diketengahkan disini lebih awal bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk menyulut api permusuhan atau memantik konflik horizontal yang merugikan.

Lantas, apa yang hendak diperkarakan di sini? Dan mengapa harus diperkarakan? Yang menjadi pokok perkara di sini dalah sebuah pernyataan dalam Islam Digest yang menyebutkan bahwa Lalu, bagaimana ungkapan yang juga telah banyak dinisbatkan pada Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa umat Islam nanti akan terbagi menjadi 73 golongan, namun semuanya masuk surga dan hanya satu yang masuk neraka, yaitu Zanadiqah (Kafir Zindik). Apa maksud dari kedua hadis yang serupa, tapi tak sama ini?

Pernyataan di atas layak diperkarakan, mengingat pernyataan tersebut telah menisbatkan suatu perkataan kepada Rasulullah (w. 11 H/633 M) yang secara ilmiah bukanlah sabdanya atau rasulullah  tidak pernah mengatakannya sama sekali (Hadis Maudhu’/Palsu). Dan, apabila hal ini dibiarkan maka dikhawatirkan kita termasuk dalam “daftar hitam” rasulullah: Barangsiapa yang berbohong atas namaku (memalsukan hadis) secara sengaja maka bersiaplah mengambil posisi di neraka. [HR. Al-Bukhari (w. 256 H/869 M) dan Muslim (w. 261 H/874 M)]

Hadis yang menyebutkan umat Nabi Muhammad akan terpecah hingga 73 golongan ada dua. Yang pertama; menyebutkan semuanya masuk neraka kecuali satu yang masuk surga yaitu ma ana ‘alaihi wa ash-habi adalah riwayat Imam Abu Dawud (275 H/889 M), at-Tirmidzi (279 H/892 M), an-Nasa’i (303 H/915 M), Ibnu Majah (273 H/887 M), al-Hakim (405 H/1014 M), al-Baihaqi (458 H/1066 M) dan Abdul Qahir al-Baghdadi (429 H/1037 M). Adapun kualitas hadis ini menurut Imam at-Tirmidzi hasan (baik/kualifikasi hadis di bawah sahih). Sedangkan Menurut Imam al-Hakim, Imam al-Iraqi (806 H/1404 M) dan Imam as-Suyuthi (911 H/1505 M) sanad-sanad hadis ini dapat dijadikan hujjah, artinya dapat dijadikan argumentasi kuat secara ilmiah. Bahkan menurut Imam al-Kattani (1333 H/1915 M) dalam kitabnya Nadhmul Mutanatsir minal Hadis al-Mutawatir hadis ini adalah termasuk hadis mutawatir (hadis yang dalam setiap jenjang periwayatannya terdapat minimal 10 orang perawi). Jadi, dari segi kualitas dan otentisitasnya, hadis ini tidak diragukan lagi.

Yang kedua; menyebutkan kebalikan dari hadis yang pertama yaitu semuanya masuk surga kecuali Zanadiqah (Qadariyah/isme yang menafikan takdir). Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-‘Uqaili (322 H/934 M) dalam kitabnya al-Dhu’afa, Imam ad-Daruquthni (385 H/995 M) dalam kitabnya al-Afrad, Imam Ibnu ‘Adi (365 H/976 M) dalam kitabnya al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal. Selanjutnya, hadis ini juga dinukil kembali oleh Imam as-Suyuthi (911 H/1505 M) dalam kitabnya al-La-ali al-Mashnu’ah fi al-Akhbar al-Maudlu’ah, Imam al-Kannani (963 H/1556 M) dalam kitabnya Tanzihus Syariah al-Marfu’ah ‘anil Akhbar as-Syaniah al-Maudlu’ah, Imam al-Harawi/Mula Ali al-Qari (1014 H/1606 M) dalam kitabnya al-Mashnu’ fi Ma’rifatil hadis al-Maudlu’ dan Imam as-Syaukani (1250 H/1834 H) dalam kitabnya al-Fawaid al-Majmu’ah fil ahadis al-Maudlu’ah. (Lebih lanjut lihat buku Hadis Hadis Bermasalah karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Imam Besar Masjid Istiqlal dan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat).

Menurut Ali Mustafa Yaqub tampaknya sudah dapat ditebak bahwa hadis versi yang kedua ini adalah palsu. Dan menurut ulama memang demikian. Sumber kepalsuan hadis ini adalah empat orang rawi, masing-masing bernama al-Abrad bin Asyras dan Yasin az-Zayyat, keduanya dalam riwayat al-‘Uqaili. Kemudian Utsman bin Affan dan Abu Ismail al-Aili Hafsh bin ‘Umar, keduanya dalam riwayat ad-Daruquthni.

Masih menurut Ali Mustafa Yaqub bahwa ulama kritikus hadis menilai; al-Abrad bin Asyras adalah pemalsu hadis dan pendusta, sedangkan Yasin al-Zayyat dan Utsman bin Affan (bukan Utsman bin Affan Amirul Mukminin) seperti dituturkan oleh Imam an-Nasa-i adalah matruk al-hadis (suatu kualifikasi hadis terburuk sesudah hadis palsu/maudlu’, sebab ia dituduh pendusta karena perilaku sehari-harinya dusta). Demikian pula perawi Abu Ismail al-Aili Hasfh bin Umar juga seorang pendusta.

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hadis perpecahan umat versi kedua ini yang menyebutkan bahwa seluruh firqah (golongan) itu akan masuk surga kecuali firqah Zindiq/Qadariyah, adalah hadis palsu. Di samping karena faktor rawinya yang ternyata adalah para pendusta dan pemalsu hadis, masih ada faktor lain yang memperlemah kualitas hadis ini. Karenanya, ia tidak dapat disebut hadis yang kontroversi dengan hadis yang pertama, karena kualitasnya sangat berbeda. Dan sebagai hadis palsu, hadis versi kedua ini tidak layak lagi untuk disebut-sebut, apalagi dijadikan dalil atau hujjah. Ia hanya boleh disebut-sebut dalam rangka untuk diterangkan kepalsuannya. (Lihat Hadis Hadis Bermasalah karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub, MA. Penerbit Pustaka Firdaus, Cet. V, Hal. 60-66)

Ahlussunnah Wal Jama’ah

Dalam literatur hadis tidak ditemukan redaksi “Ahlussunnah Wal Jama’ah”. Sejatinya yang termaktub dalam literatur hadis adalah redaksi “Ma ana ‘alaihi wa ash-habi ”.

Istilah atau nama Ahlussunnah Wal Jama’ah pada masa Nabi dan Sahabat belum dikenal. Istilah ini baru muncul pasca Abu al-Hasan al-Asy’ari (324 H/936 M) dan Abu Manshur al-Maturidi (333 H/944 M). Dan, Istilah ini merupakan “bikinan” (ijtihad) para ulama pasca kedua Imam tersebut, karena berkat mereka berdua faham/ajaran Rasulullah berkibar kembali. Sebab, merekalah yang telah memformulasikan kembali (menghidupkan/memperjuangkan) ajaran Rasulullah dan para sahabat yang kala itu dibungkam oleh kekuasaan Abbasiyah yang berfaham Muktazilah (Liberal). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila seorang ulama besar pakar bahasa, Imam Murtadla az-Zabidi (1205 H/1790 M) menyatakan dalam kitabnya Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah kitab Ihya’ Ulumuddin) juz II, hal. 6, bahwa: “Apabila diucapkan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka artinya adalah para pengikut Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi”.

Maka, keberadaan redaksi hadis yang menyebutkan bahwa golongan yang selamat adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah palsu (tidak pernah diriwayatkan oleh Imam Ahmad (241 H/855 M), at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Thabarani (360 H/971 M) atau yang lain. Alias tidak pernah terlontarkan dari mulut rasulullah. Yang ditemukan adalah redaksi ma ana ‘alahi (alyaum) wa ash-habi (tidak sebagaimana yang tertulis dalam buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Karya Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, Lentera Hati, Cet. II, hal 43-44. Dan tidak sebagaimana tercantum dalam karya KH. Siradjuddin Abbas I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Cet. III, hal. 22)

Jaga persatuan

Perpecahan umat merupakan keniscayaan tak terbantahkan. Hal itu termaktub dalam Al-Quran dan Hadis Nabi. Bahkan secara faktual memang demikian. Kita melihat entitas lahirnya bermacam aliran; Syiah, Khawarij, Murjiah, Qadariyah/Muktazilah, Jabriyah/Fatalisme, Wahabiyah/Salafi, Ahmadiyah, Ikhwanus Shafa, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin/Hizbul Ikhwan (PKS), Ateisme dan isme-isme yang lain. Bahkan perpecahan itu (baca: perbedaan) terjadi di negeri tercinta kita; Muhammadiyah, NU, Persis, al-Irsyad, MMI, NII, LDII, DDII, FPI, JIL, PKS (Ikhwanul Muslimin), HTI, SYAHAMAH dan ormas lainnya di Indonesia yang mencapai sekitar tiga puluhan, bahkan mungkin lebih.

Perbedaan adalah rahmah. Perpecahan tentu mengandung hikmah. Karena Tuhan tidak main-main dengan kehendakNya. Kendati demikian adanya harus dijelaskan bahwa sampai di ranah mana kita mesti melangkah bersama dan di ranah mana pula kita mesti menentukan arah yang berbeda. Inilah sesungguhnya sikap dan cara yang logis dalam upaya menuju persatuan dan perdamaian. Karena pembentengan akidah lebih penting ketimbang pesan-pesan ukhuwah.

Akhirnya, tulisan ini bukan berarti tidak respek terhadap upaya-upaya pemersatuan umat (seperti ICIS I, II, III dan World Peace Forum I, II) yang mengikat kuat persaudaraan dalam Islam. Kami (baca: penulis) juga tidak bermaksud untuk menoreh luka lama atau menyiramkan air garam di atas luka itu. Bagaimana pun, upaya pemersatuan dan merajut ikatan persaudaraan adalah baik dan harus terus diperjuangkan bersama. Wa’tashimu bihablillahi jami’an wala tafarraqu [3:103]

*Alvian Iqbal Zahasfan S.S.I, Lc. Pemerhati sosial-agama

Alhamdulillah dimuat di Majalah AULA Edisi Oktober 2009 No. 10 Tahun XXXI


Responses

  1. Wahai Banknya Wahabi kenape artikel lu yang amat sangat bagus sekali tidak diteruskan ? apa lu sudah boss an menghujat manhaj manhaj yang ada ? Jangan pernah capek dong…… maju terus sampai tuntas oke. Qullil haqqo walau kana murron.


Leave a comment

Categories