Posted by: alvianiqbal | January 14, 2014

Lagi-lagi Hukum Maulid

Lagi-lagi Hukum Maulid

Oleh H. Alvian Iqbal Zahasfan, SSI, Lc, MA.*

 

            Seperti biasanya saban bulan Rabiul Awwal disamping ramai perayaan Maulid diperingati di sana-sini juga mencuat kontroversi hukum merayakannya. Maaf jika penulis tidak sependapat dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, yang bukan hanya Imam besar Masjid Istiqlal tapi juga guruku di Darus Sunnah terkait dengan pandangannya saat diwawancarai oleh ROL (Republika Online) Kamis, 24/01/2013 tentang hukum Maulid Nabi.

            Ada dua hal yang ingin penulis soroti di sini. Pertama, beliau menyatakan bahwa maulid tidak terkait dengan urusan ibadah maupun akidah, ia tak ubahnya seperti peringatan agustusan. Dengan redaksi lain maulid bukanlah perkara bid’ah sebagaimana diributkan oleh orang-orang. Kedua, ia meminta agar diteliti mulai kapan ada orang yang mengharamkannya, sebab ia mengindikasikan ada pihak-pihak yang sengaja dibentuk guna memecah belah umat Islam dari dalam.

            Di ruang ini saya akan mengupas pernyataan beliau di atas dari beberapa segi dengan pisau analisis kritis linguistik dan historis. Pertama, benarkah sama antara maulid nabi dengan perayaan kemerdekaan? kalau sama atau beda di mana letak persamaan dan perbedaannya? Kedua, apa makna bid’ah? Apakah bid’ah itu semuanya sesat ataukah ada pembagiannya? Ketiga, kapan dan siapa yang pertama kali mengharamkan maulid nabi? Keempat, benarkah ada pihak-pihak yang sengaja dibentuk agar memecah persatuan umat Islam?

            Menurut hemat penulis maulid nabi bolehlah dikatakan sama dengan agustusan dari segi sama-sama merayakan dan mensyukuri nikmat. Bedanya maulidan mensyukuri nikmat kelahiran Nabi Muhammad, sedangkan Agustusan mensyukuri nikmat kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, kenapa kemudian di mata khalayak hukum maulid memantik kontroversi dan penyesatan? Nah, ada perbedaan mendasar antar keduanya, yakni karena maulid bersinggungan atau berbau agama, sedangkan agustusan bernuansa nasionalisme. 

            Sejatinya simpel jika kontroversi hukum maulid dikerucutkan. Satu kelompok berpendapat bahwa tidaklah semua acara atau tindakan dalam agama itu harus ada contohnya dari Nabi dan Sahabat-sahabatnya. Yang penting tidak menyalahi semangat Alquran dan Hadis. Kelompok yang lain menganggap bahwa semua acara atau tindakan dalam agama harus ada dalil–khusus–nya dan pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya. Jika tidak, maka hal tersebut adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat adalah di neraka.

            Jika disederhanakan lagi; Satu golongan (Syekh Ibnu Taimiyah w. 1328 M / 728 H, Al-Fakihani, Bin Baz, Syekh Utsaimin dkk) berpendapat semua bid’ah adalah sesat. Golongan lainnya berpendapat tidak semua bid’ah sesat. Karena bid’ah terbagi dua; Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah (Imam Syafi’i, Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Asqolani, Imam Sakhawi, Imam Suyuti dll). Bahkan ada yang membagi bid’ah menjadi lima; Bid’ah wajibah, muharromah, mandubah, makruhah dan mubahah (Imam Izzuddin bin Abdissalam w. 660 H). Bid’ah sendiri definisinya adalah segala sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya. Sedangkan bid’ah secara agama berarti segala amalan baru yang tidak pernah dikerjakan atau dicontohkan oleh Rasulullah atau Sahabatnya. Menurut Imam Nawawi w. 676 H dalam Tahdzibul Asma’ wal Lughat, “Bid’ah secara syariat adalah mengadakan sesuatu yang tidak ada di zaman Rasulullah, terbagi pada: Hasanah (baik) dan Qobihah (buruk).”

            Sedangkan sejarah awal kapan dan siapa yang pertama kali merayakannya pun kontroversial, ada yang berasumsi zaman dinasti Fatimiyyah abad ke-4. Ada pula yang mengatakan abad ke-6 oleh Shalahuddin Al-Ayyubi (w. 589 H / 1193 M). Ada juga yang berpendapat abad ke-7 oleh Raja Irbil (Irak), Abu Said Kaukabri (w. 630 H / 1233 M).

            Pendapat yang kuat adalah yang terakhir karena disebutkan dalam literatur-literatur sejarah terpercaya seperti dalam Tarikh-nya Imam Ibnu Katsir (An-Bidayah wan Nihayah) sebagaimana kisahnya dinukil oleh Imam Suyuthi dalam esainya, Husnul Maqsid fi Amalil Maulid: “Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar, Abu Sa’id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang alim, mulia, agung dan dermawan.” 

            Imam Ibnu Katsir (w. 1373 M / 774 H) menceritakan juga tentang Imam Ibnu Dihyah (w. 1236 M / 633 H) seorang ulama dari Maroko yang mengembara hingga ke Syam, Bagdad dan Khurosan. Ketika ia mengetahui Raja Irbil mengadakan maulid ia mengarang sebuah kitab (At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir an-Nadzir) yang dibacakan di acara tersebut, kemudian dihadiahkan ke raja. Sang raja membalas menghadiahkannya seribu dinar.

            Setidaknya esai Imam Suyuthi (w. 1505 M / 911 H)  di atas menjawab pernyataan dan permintaan guruku–Ali Mustafa Yakub–yang mana esai tersebut berawal dari pertanyaan yang dilontarkan ke Imam Suyuthi, “Apa hukum maulid? Apakah maulid terpuji apa tercela? Dan apakah pelakunya mendapat pahala atau tidak?”. Sang Imam menjawab pertanyaan tersebut bahwa hukum maulid bid’ah hasanah, terpuji dan pelakunya mendapatkan pahala. Ia bukan sekedar menjawab namun juga membantah buku Syekh Tajuddin Al-Fakihani ( w. 1334 M / 734 H), Al-Maurid fil Kalam ala Amalil Maulid yang mengharamkan acara maulid karena bid’ah.
            Artinya di zaman Imam Suyuti telah ada orang yang mengharamkan Maulid, bahkan temuan saya mengatakan kontroversi hukum maulid sudah ada di zaman Syekh Ibnu Taimiyah (w. 728 H) karena ia turut berkomentar bahwa hukum maulid adalah bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Salafus sholeh.

            Bahkan lebih jauh lagi kalau boleh saya menyimpulkan kontroversi hukum maulid muncul tidak lama setelah acara maulid diadakan pertama kalinya oleh Raja Irbil, Abu Sai’d Kaubakri (w. 630 H) sebab saya menemukan Imam Al-Jazari (w. 660 H) dalam kitabnya ‘Urfu at-Ta’rif bil Maulid As-Syarif menceritakan suatu ketika Abu Lahab (Paman Nabi) mimpi keadaannya setelah mati. Ia ditanyai, “Apa kabarmu? ia menjawab: Aku di neraka, hanya saja siksaanku diperingan setiap malam senin, aku menyeruput air dari sela-sela dua jariku ini sekadar ujung jari. Hal itu dikarenakan aku pernah memerdekakan Tsuwaibah (budak) saat ia membawa kabar gembira kelahiran Rasulullah kepadaku dan ia menyusuinya. Imam Aljazari berkomentar, “Jika Abu Lahab, orang kafir yang dicaci langsung oleh Alquran diberi keringanan siksaan di neraka karena bahagia di malam kelahiran Rasulullah, maka bagaimana dengan orang muslim, ahli tauhid, umat Rasulullah yang senang dengan kelahirannya lalu mengerahkan segala kemampuannya dalam kecintaannya kepada Rasulullah? Demi Allah, sungguh balasannya–dari Allah Yang Maha Mulia berkat fadhilahnya–adalah memasukkannya ke dalam surga-surganya.         

            Pertanyaan yang terakhir, adakah indikasi pihak luar yang ingin memecah umat Islam dengan mengusung isu hukum maulid? saya kira tidak menutup kemungkinan. Siapa? wallahu a’lam.

            Sebelum menyimpulkan artikel ini penulis ingin menampilkan komentar pendekar ilmu hadis sepanjang abad, Ibnu Hajar Al-Asqolani (w. 1449 M / 852 H)  yang saya pikir moderat nan apik, “Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salafus Saleh pada tiga abad pertama. Tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.          Dari semua di atas dapat disimpulkan; Kontroversi hukum maulid sudah ada sejak awal abad ke-7 Hijriah. Para ulama sudah banyak merundingkannya. Maulid masuk ranah cabang ibadah dan cabang akidah. Satu kelompok melarang maulid karena bid’ah (aliran tekstualis). Kelompok yang lain membolehkan karena bid’ah hasanah (kaum kontekstualis). Semuanya mempunyai dalil. Terlepas mana yang paling benar. Atau jangan-jangan semuanya benar?

             Pada aras demikian sudah saatnya kita memandang polemik sebagai ajang pendewasaan bagi proses persaudaraan dan toleransi. Berbeda itu biasa dan sunnatullah, yang diharapkan jangan sampai saling menyesatkan apalagi mengkafirkan sebab perkara ini khilafiyah dan furuiyah. Harapan kedua semoga bulan maulid ini bisa mengingatkan kita kembali akan perjalanan risalah dan dakwah Nabi sekaligus memperbanyak membaca sholawat guna meraih syafaat. Harapan terakhir semoga kita bisa menginternalisasikan nilai-nilai ajaran Rasulullah dalam semua lini kehidupan nyata yang beliau diutus tiada lain untuk memperbaiki akhlak manusia dan rahmat bagi alam semesta (Rahmatan lil Alamin).

 

*1. Mahasiswa Pasca Sarjana Dar El Hadith El Hassania, Maroko.
  2. Rois Syuriah PCINU (Pengurus Cabang Istimewa NU) Maroko.

  3. Alumni Darus Sunnah 2008, Ciputat.

           

           

           

 


Leave a comment

Categories